Hutang Luar Negeri Untuk Beli Alutsista Makin Menumpuk

Alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) untuk membiayai pembelian senjata atau alutsista untuk TNI makin besar. Selama pandemi antara tahun 2020-2022, jumlah anggaran untuk beli alutsista dipotong, tapi alokasi dari PLN malah naik dibanding tahun 2015-2019

Jumlah Hutang PLN yang diberikan ke Kementrian pertahana selama kurun 2020-2022 naik dari $20,7 milyar dolar menjadi $25,7 milyar dollar. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan kurun waktu 2015-2019 yang hanya $7,7 mliyar dollar.

Besarnya kenaikan hutang tersebut untuk membeli alutsista strategis yang modern seperti pengadaan pesawat tempur Rafale, F-15EX, kapal selam kelas Scorpene dan fregat FREMM. Walaupun beberapa diantaranya juga ada alutsista bekas, seperti Mirage 2000-5 dari Qatar, di mana anggaran pengadaannya telah disetujui oleh Menteri Keuangan pada tahun lalu sebesar US$ 734,5 juta yang kabarnya akan didanai hutang dari Bank Uni Emirat Arab.

Kementrian Pertahanan yang dipimpin oleh Prabowo juga berencana juga membeli kapal perusak dan korvet bekas dari China yang walaupun konon hibah akan tetapi Kementerian Keuangan tetap harus berutang guna membiayai kegiatan tersebut.

Usulan tentang Hutang PLN untuk digunakan membeli alutsista sebenarnya bukan berasal dari Kementrian Pertahanan, tapi juga tanggung jawab dari Kementrian Keuangan dan Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Posisi Indonesia yang strategis sebagai poros maritim dunia, membuat banyak negara-negara maju menawarkan alutsista dengan tujuan menjadikan NKRI sebagai sekutu terutama dalam konflik perebutan pengaruh di Laut China Selatan.

Walhasil, Walaupun Menteri Keuangan telah menerbitkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) senilai US$ 25,7 miliar hingga 2024. Tapi angka itu menjadi fluktuatif, bisa berubah-ubah karena ambisi pertahanan dan tawaran yang menggiurkan dari luar negeri.

Contoh tahun ini, ada usulan perubahan dari Kemenhan kepada Kementrian PPN/Bappenas yang meminta tambahan Hutang PLN sebesar US$ 6,9 miliar pada awal tahun ini guna membiayai rencana akuisisi yang tidak tercantum di DRPLN-JM 2024.

Saat ini ada tiga alusista yang belum jelas nasibnya, akan dibeli atau tidak? padahal kabar yang beredar sudah santer.

Pertama adalah pesawat F-15EX. Sumber-sumber diplomatik menyatakan bahwa Washington DC terus menanyakan kepastian Jakarta membeli F-15EX, namun Indonesia tidak dapat memberikan jawaban yang pasti soal tersebut. Kementrian Keuangan masih belum merestui untuk membiayai pembelian ini padahal lampu hijau sudah direstui oleh Pentagon.

Kedua adalah pesawat F16 Viper. Kementerian Bappenas sudah mengusulkan angka US$ 1 miliar yang berdasarkan kalkulasi kasar dapat membawa pulang 12 F-16V dalam kondisi flyable, termasuk pula oleh pengadaan suku cadang. Tapi lagi-lagi, masih ditolak oleh Kementrian Keuangan.

Ketiga adalah kontrak pembelian enam Kapal Perang fregat FREMM dan dua kapal perang fregat bekas kelas Maestrale dari Italia. Fincanteri sebagai kontraktor kapal tersebut, dilaporkan sangat kecewa dengan kegagalan Indonesia memenuhi kesepakatan kontrak yang telah ditandatangani pada 4 Juni 2021.

Bagimana? apakah Indonesia masih harus menambah hutang lagi untuk membeli senjata alutsista?

Posting Komentar untuk "Hutang Luar Negeri Untuk Beli Alutsista Makin Menumpuk"