
Karena belum jelasnya kontrak pembelian pesawat pengganti F-5 Tiger. Amerika Serika terus menggoda TNI dengan pesawat tempur F-16 generasi terbaru, Viper.
TNI AU sendiri sangat akrab pesawat Fihgting Falcon ini, dan sudah mengoperasikan dua tipe generasi.
Generasi pertama adalah F-16A/B Block 15 OCU yang dibeli melalui program Peace Bimasena I di era Presiden Soeharto pada awal tahun 1990-an.
Lalu generasi kedua adalah F-16C/D Block 25 yang diupgrade menjadi F-16C/D Block 52ID pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyon tahun 2014 dan sampai sekarang masih dalam proses pengiriman.
TNI AU dinilai telah akrab dengan sistem F-16 dan terbukti mampu beradaptasi dan mengoptimalkan F16 walau pernah diembargo di akhir dekade 90-an sampai awal 2000-an. Karenanya, Lockheed Martin si pembuat F16 terus berupaya merayu Indonesia untuk kelangsungan pesawat ini.
Salah satu yang getol ditawarkan adalah F-16 Block 72 Viper. Keunggalan utama pesawat ini adalah penggunaan radar Northrop Grumman APG-83 SABR (Scalable Agile Beam Radar).
APG-83 SABR sendiri merupakan radar AESA (Advanced Electronic Scanned Array), dengan kemampuan membelokkan arah radar secara elektronik, tanpa perlu komponen mekanik yang membelokkan sudut piringan radar. Bagi F-16 yang hidungnya termasuk pipih tapi lebar, penggunaan AESA adalah keniscayaan karena sempitnya tudung (radome) radar.
Northrop Grumman sebagai pabrikan sendiri menjanjikan kalau APG-83 memiliki keandalan antara tiga sampai lima kali dibandingkan dengan radar AN/APG-68v bawaan asli F-16 generasi awal, serta memiliki ketahanan yang lebih baik dalam lingkungan yang dipenuhi gangguan elektronik.
Di kawasan ASEAN, F16C milik AU Singapura telah dibekali radar APG-83 SABR. Radar ini mampu meningkatkan kemampuan multirole pesawat di udara dan terhadap target di daratan.
Untuk misi udara, APG-83 SABR menjanjikan kemampuan penjejakan atas 20 sasaran sekaligus yang terbang pada berbagai ketinggian, dengan sudut penjejakan lebar, mencapai 60 derajat sembari terus menjalankan moda pencarian.
Saat memasuki moda pertempuran udara, radar ini dapat secara otomatis menjejak dan mengunci sasaran yang dideteksi sesuai moda yang dipilih oleh pilot, dengan prioritas sebanyak enam sasaran. Radar secara otomatis akan terus mengikuti pergerakan sasaran selama masih ada dalam cakupan radar. Sistem memorinya mampu memberikan perkiraan tipe sasaran yang dideteksi sehingga pilot bisa memilih strategi yang tepat untuk bereaksi.
Sementara untuk moda darat, tersedia beberapa pilihan penggunaan seperti peta daratan yang bisa dipilih dengan skala 10 sampai 160 mil laut, kemudian moda SAR (Synthetic Aperture Radar) dengan resolusi tinggi untuk memetakan objek di darat secara presisi, kemampuan penjejakan sasaran darat yang bergerak dan penempatannya pada peta, serta moda sasaran laut terdedikasi untuk operasi serang maritim.
Melalui moda serang maritim, F-16 dapat dipakai untuk melakukan pengawasan atas wilayah lautan, dengan kemampuan mengenali sasaran di atas permukaan laut termasuk mengunci sasaran berupa kapal perang dan menyelesaikannya dengan rudal udara-darat seperti AGM-65 Maverick.
Ingat2 embargo dari mamarika. Jangan sampai kejadian kayak waktu lepas nya timles, dari sekian banyak F16 yang ada, hanya satu dua unit yang bisa terbang. Itupn tanpa kemampuan tempur. Belum lagi yang diperbaiki tapi gak bisa di ambil oleh Indonesia. Karena berat nya embargo mamarika waktu itu. Tak hanya spare part, pesawat nya pun ditahan. Amerika sangat Licik jika terkait konflik wilayah dan kepentingan dibalik perang. Saya melihat, tidak ada yang lebih tulus dari Rusia terhadap Indonesia.
Kalau Blok 72 hanya sama dengan milik Singapura, ya percuma saja. Tentu lebih memilih SU-35 yang akan menggetarkan lawan potensial kita.
Kalau begitu harus ada perjanjian khusus (Tanpa Embargo) jika ditawar F16 VP Blok 72 klo gak mau mending TNI AU pilih Gripen/ Rafale saja.
Pilih su 57 n alih teknologi..n bersamaan beli f 35 dg alih teknologi. Atau minimal mereka mau buka pabrik suku cadang di indonesia..