
Seorang pakar Australia menyebut Indonesia diam-diam mundur dari rencananya untuk membeli 11 unit pesawat jet tempur Su-35 Rusia atau dikenal sebagai Flanker-E. Dia menduga ancaman sanksi Amerika Serikat (AS) di bawah undang-undang bernama Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) sebagai biangnya.
Donald Greenlees, pakar senior untuk Asialink di University of Melbourne, menuliskan analisanya itu dalam artikel berjudul “Russia sanctions putting strain on US relationship with Indonesia” di Australian Strategic Policy Institute (ASPI) The Strategist, Senin, 17 Juni.
Dalam artikelnya, Greenlees menyatakan selama berbulan-bulan subjek lalu lintas kabel diplomatik terbesar dari kedutaan Indonesia di Washington adalah soal undang-undang AS yang menjatuhkan sanksi pada negara mana pun yang melanggar sanksi komprehensif AS terhadap Rusia
.
Analisa Greenlees tak mungkin bisa dikonfirmasi baik oleh pemerintah Indonesia maupun Rusia karena kesepakatan pembelian jet tempur Su-35 merupakan isu sensitif yang bisa memengaruhi hubungan antara Indonesia dan Rusia serta Indonesia dan AS.
Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu pernah menyampaikan kepada kantor berita Rusia, TASS, bahwa dia yakin kesepakatan pembelian 11 unit jet tempur Su-35 akan diselesaikan tahun ini.
Seorang pejabat senior di perusahaan induk persenjataan Rusia, Rostec, juga menggemakan pandangan Ryamizard dengan menyatakan pembelian 11 unit pesawat generasi 4++ senilai USD1,14 miliar telah ditunda karena pemilihan umum Indonesia.
Menurut analisa Greenlees, argumen dari pejabat Rostec itu menjadi bagian dari penjelasan Indonesia untuk tidak melanjutkan finalisasi kesepakatan dan pengiriman perdana pesawat tersebut.
Pakar universitas Australia itu melanjutkan, ada pejabat Indonesia yang secara pribadi mengakui masalah sebenarnya adalah CAATSA. Undang-undang AS itu menerapkan berbagai sanksi kepada individu dan organisasi yang terlibat dalam transaksi dengan sektor intelijen atau pertahanan Federasi Rusia. Sanksi potensial, yang diuraikan dalam CAATSA berkisar dari penolakan visa hingga hukuman dan larangan transaksi properti dan keuangan.
Kesediaan AS untuk menjatuhkan sanksi semacam itu, atau apakah ada pengabaian yang mungkin bisa tetap berada di garis depan diplomasi keamanan antara Washington dan Jakarta dalam beberapa bulan terakhir. Kunjungan Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pertahanan AS atau bos Pentagon Patrick Shanahan ke Jakarta baru-baru ini diduga sebagai bagian dari diplomasi untuk memengaruhi pembelian Su-35 Rusia oleh Indonesia.
Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo dalam paparannya di sidang Senat pada bulan April lalu sebenarnya juga menjadi isyarat yang tidak menyenangkan bagi Indonesia. Dia terang-terangan menyatakan bahwa AS akan menjatuhkan sanksi bagi negara yang terlibat pembelian sistem persenjataan Rusia. Dia memang tidak menyebut Indonesia, tapi Mesir yang juga membeli Su-35 Rusia.
“Kami telah menjelaskan bahwa, jika sistem-sistem itu akan dibeli, undang-undang CAATSA akan memerlukan sanksi terhadap rezim,” katanya mengacu pada rezim Rusia).”AS telah menerima jaminan dari rakyat Mesir bahwa mereka memahami (sanksi akan dijatuhkan) dan saya sangat berharap bahwa mereka akan memutuskan untuk tidak bergerak maju dengan memperoleh itu,” imbuh dia merujuk pada pembelian Su-35.
Berbicara kepada media asing di Jakarta, Kamis pekan lalu, Duta Besar AS Joseph R Donovan berupaya melindungi nasib pembelian Su-35 Rusia oleh Indonesia. Tapi, dia tidak bisa menjamin. “Kami tidak berspekulasi, atau masuk, apa yang mungkin kami lakukan di masa depan pada hal seperti itu,” katanya, tanpa merinci lebih lanjut jawaban tersebut.
Donovan bersikeras bahwa AS memberlakukan sanksi untuk mengubah perilaku Rusia, bukan untuk menghukum mitra Amerika.
Meski begitu, bagi pihak Indonesia, tindakan AS itu tidak berhasil. Alasan Indonesia berpaling ke Rusia untuk pembelian pesawat tempur pertama kali ketika mereka membeli jet Su-27 dan Su-30 adalah pengenaan embargo AS atas krisis Timor Timur yang kini menjadi negara bernama Timor Leste.
Sumber: sindonews.com
katanya negara merdeka & berdaulat…ternyata masih di bawah ketiak orang lain, kasian TNI pengen jadi superior saja susah setengah mati, andai pemimpin nya berani seperti Erdogan yg nekat lanjut beli S400….
Pemerintah mesti bersikap keras….tunjukkan pada as….itupun kalo berani….mana ada anjing yg berani sm tuannya
Langkah tepat pak jika batal beli su 35 . Jet boros teknoligi 80 an wkwke
Prioritas pertama Indonesia harus meningkatkan pendapatan dan pemasukan devisa serta pengurangan hutang, serta membangun sumber daya energi yang terbarukan dan menjadi eksportir bahan jadi bukan lagi bahan mentah supaya mempunyai nilai tambah, kemudian membangun tempat wisata serta memberdayakan masyarakat adat setempat mulai dari tenunannya, musiknya serta pemuda pemudi lokal untuk menjadi penerjemah serta kerjasama dng penduduk lokal untuk menjadi penyedia tempat penginapan dan tempat menyewa kan kendaraan, sbg salah satu wujud memberdayakan masyarakat lokal demi peningkatan ekonomi dan pajak, setelah Mengalami kemajuan dan pengurangan hutang, juga tdk ada ketergantungan dengan Amerika serikat serta negara2 pendukung kebijakan Amerika,kemudian adakan Mig 35 utk 3 skuadron, Gripen NG utk 4 skuadron, Su 35/Su 57 utk 3 skuadron, serta IFX utk 3 skuadron, mengurangi biaya operasional dan kesulitan suku cadang bisa dilakukan variasi dng mengadakan F 15 terbaru utk 3 skuadron dan F16 blok 70 utk 4 skuadron, khawatir utk hadapi China, Rusia mempersulit pengadaan suku cadang pesawat tempur utk Indonesia.