
Libya selangkah lagi dari perang saudara lagi, kali ini dengan tensi yang bisa lebih besar dan dahsyat. Dua kota besar Tripoli dan Sebha telah dikuasai kaum oposisi non pemerintah dari kubu LNA (Libyan National Army), sementara distrik Misurata dikuasai pemerintah GNA (Goverment National Accord) bentukan Turki dan delegasi PBB. Wakil PBB Stephanie Williams dan menegaskan bahwa mereka tidak akan berpartisipasi dalam pemilihan yang dijadwalkan pada 24 Desember.
Seminggu sebelum pemungutan suara, ketegangan antara faksi-faksi di Libya yang bersaing tekah meruntuhkan jalan damai yang dibangun oleh komunitas internasional untuk memulihkan jalur demokrasi.
Dengan situasi sekarang sudah pasti: pemilihan umum yang seharusnya mengarah pada penunjukan kepala negara baru dan majelis parlemen baru akan ditunda hingga waktu yang belum pasti. Mungkin pada musim semi tahun depan.
Senin depan giliran KPU yang memastikan ketidakmungkinan pemungutan suara. Sekarang, bagaimanapun, perlu dipahami siapa yang akan dapat memimpin negara itu ke pemilihan sambil menghindari perang saudara lagi. Pemerintah yang dipimpin oleh perdana menteri sementara Ahmed Dbeibah tidak lagi mampu mengendalikan negara itu.
Situasi memanas karena pecahnya GNA sendiri. Presiden Mohamed al-Menfi dan Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibeh tiba-tiba memecat komandan militer LNA Abdul Basset Marwan. Tidak terima dipecat, Marwan menggerakkan Brigade Al-Samud untuk mengepung istana.
Tahu kondisi Ibukota yang sedang kisruh tersebut, Jenderal haftar pemimpin LNA langsung melancarkan serangan kilat merebut Ibukota Tripoli. Serangan itu berhasil dan segera dia membekukan semua unsur pemerintahan bentukan Turki itu.
Haftar saat inin telah mengusai 90% wilayah Libya dengan sokongan Mesir dan Uni Emirat Arab. Jika diadakan Pemilu banyak pihak khawatir akan ada kecurangan dengan kemenangan pasti didapat Haftar yang juga telah mendaftar jadi kandidat Presiden.
Tinggalkan Balasan