
Pria itu sudah mengenakan seragam lengkap. Sebuah setelan berbahan parasut tebal berwarnae hijau tua dengan badge-badge tertempel di sana-sini. Badge dengan nama lengkapnya terpampang di dada kiri: Vincentius Endy HP. Di bawahnya, ada nama Hunter berada di dalam tanda kutip.
”Saya biasa dipanggil Vincent atau Hunter. Hunter itu nama udara saya,” katanya sambil tersenyum.
Letnan Kolonel Penerbang Vincentius Endy Hadi Putra, begitu nama lengkapnya. Rambutnya cepak rapi. Duduknya tegak. Gaya bicaranya lugas dan tegas.
Terlebih ketika berbicara tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Komandan Skadron Udara 11 Makassar itu tampak bersemangat. Kadar nasionalismenya tak perlu dipertanyakan lagi.
”Sebelum bergabung dengan TNI AU juga saya sudah punya sikap nasionalisme. Setelah bergabung di TNI AU, rasa nasionalisme itu semakin kuat,” tuturnya.
Di sela Operasi Tangkis Sergap yang TNI Angkatan Udara jalankan di Bandara Hang Nadim Batam, ia meluangkan sedikit waktunya untuk berbincang.
Meski, dua kali, perbincangan itu terputus dengan panggilan ‘Kejar’ dari Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas).
“Saya ini sedang stand by. Makanya pakai seragam dinas terus. Tapi barusan, tidak jadi mengejar karena target sudah keluar lagi dari radar,” ujarnya.
Letkol Pnb Vincent memimpin operasi tersebut. Ada enam awak pesawat tempur, termasuk dirinya, yang ditugaskan dari Makassar untuk mengamankan wilayah udara bagian Kepulauan Riau (Kepri). Mereka mengendarai empat pesawat Sukhoi jenis SU27 dan SU30.
Sukhoi-Sukhoi itu selama satu minggu disiagakan di Bandara Hang Nadim. Target mereka adalah mengusir pesawat-pesawat asing yang memasuki wilayah udara Kepri tanpa izin. Setiap hari, ada tiga hingga lima pesawat asing yang berhasil mereka usir.
Sebagian besar pelanggaran itu terjadi di wilayah Natuna. Pesawat-pesawat asing itu mengambil jalan potong dengan melewati wilayah udara Natuna. Mereka seharusnya memutar.
Setiap kali pesawat asing itu memasuki batas udara NKRI, radar TNI AU segera saja berbunyi. Kohanudnas kemudian akan memberi perintah untuk mengejar. “Begitu ada perintah langsung berangkat. Tidak butuh waktu lama untuk persiapan,” ujarnya.
Operasi Tangkis Sergap itu adalah operasi kesekian yang ia pimpin. Satu tahun belakangan, ia memang sering ditugaskan ke wilayah-wilayah lain di seluruh Indonesia. Targetnya, pesawat-pesawat asing yang masuk tanpa izin. “Seperti pekarangan bapak-ibu kalau dimasuki orang seenak udelnya, pasti nggak suka kan? Ini soal kedaulatan negara kita,” tuturnya.
Satu prestasi yang paling membanggakannya adalah saat ia dan tim berhasil menurunkan paksa pesawat jet jenis Gulfstream IV dengan operator Saudi Arabian Airlines di Landasan Udara Eltari, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 3 November lalu.
Pesawat itu memasuki wilayah Indonesia tanpa dokumen perizinan yang lengkap. Awalnya ia hanya diperintahkan untuk mengejar. Namun, ketika dikejar dan mencoba berkomunikasi, pesawat itu justru tancap gas. Terjadilah kejar-kejaran di udara. Hingga kemudian, ia diperintahkan untuk menurunkan paksa pesawat tersebut. “Dari pemerintah dan pimpinan pun mengapresiasi tindakan tersebut,” ujarnya.
Letkol Pnb Vincent bertugas di Skadron Udara 11 sejak tahun 2005. Ia bergabung dengan Angkatan Udara melalui Akademi Angkatan Udara di tahun 1994. Ia lulus pada tahun 1997.
Ia kemudian melanjutkan ke seleksi sekolah penerbangan militer di Yogyakarta. Ia diseleksi untuk pembagian penempatan: pesawat tempur, pesawat transpor, dan heli.
Ia mendapat bagian di pesawat tempur. Ia ditugaskan di Madiun. Ia mengendarai pesawat Hawk MK-53. Ia kemudian dijuruskan lagi ke pesawat F-5 Tiger. Hingga kemudian mengendarai pesawat Sukhoi 27/30. Ia meraih 100 jam terbang pada 3 Oktober lalu.
“Kehidupan tentara Angkatan Udara itu menarik. Ritme pekerjaan mereka menarik bagi saya,” tuturnya.
Ketertarikan itu bermula sejak ia duduk di bangku SMA. Alumnus SMAN 8 Jakarta itu menikmati pemandangan kehidupan sehari-hari para tentara AU. Baik kehidupan mereka saat berkeluarga maupun kehidupan sosialnya dengan masyarakat sekitar.
Ia dan keluarga tinggal di wilayah Duren Sawit, Jakarta. Rumahnya berdekatan dengan landasan udara Halim Perdanakusuma. Ia banyak memiliki kawan anak tentara. Hubungan-hubungan itulah yang mendekatkannya dengan sosok tentara.
Meskipun, tak satupun anggota keluarganya menjadi tentara. Sebagian besar adalah pegawai pemerintahan daerah. Beruntung, semua anggota keluarga merestui. “Meskipun, saya ngumpet-ngumpet ketika daftar masuk Akademi Angkatan Udara. Saya baru memberi tahu keluarga setelah saya lolos seleksi,” kenang anak kedua dari empat bersaudara itu.
Pria kelahiran Jakarta, 14 Januari 1975 itu tak lagi memandang ‘terbang’ sebagai sebuah tugas. Melainkan sebuah hobi. Ia menikmatinya sebagai sebuah pengalaman menambah wawasan dan kecintaan terhadap negeri sendiri.
“Indonesia itu luas sekali. Saya bisa melihat dari atas bagaimana pulau-pulau itu terpisah-pisah, dari yang kecil dan besar. Tapi semua itu berdiri sebagai suatu kesatuan,” tuturnya.
Selain itu, ia juga bisa mengenal kebudayaan dan kondisi masyarakat di setiap wilayah Indonesia. Misalnya, ketika bertugas di Jayapura, Kalimantan, atau di Batam.
Kadang kala, ia bisa menemukan kondisi suatu tempat yang masih minim tenaga pendukungnya. Ini menyadarkannya bahwa masih banyak wilayah Indonesia yang harus dilindungi oleh Tentara Angkatan Udara. “Bersyukur di Batam ini, pemerintah daerah men-support. Ada di tempat lain, kami tidak memiliki sarana dan prasarana juga tidak mendapat dukungan Pemda. Itu kan tidak enak,” ujarnya.
Yang paling tidak enak juga, katanya, adalah berjauhan dengan keluarga. Istri dan dua anaknya berada di rumah dinas di Makassar. Ia baru akan bertemu dengan mereka sepulangnya dari tugas.
Namun, Angkatan Udara juga memberikan keluarga baru baginya. Ia memimpin 150 pasukan di Skadron Udara 11. Ia menjadi senior sekaligus ‘abang’ bagi para junior.
Kepada mereka, ia selalu menanamkan sikap cinta tanah air. Mereka juga harus selalu berorientasi pada tugas pokok. Jangan berpikir macam-macam selagi berada di udara.
Sebab, bisa mengendarai pesawat Sadalah kebanggaan tersendiri baginya. Dan seharusnya, juga bagi para awak lainnya. Sukhoi adalah pesawat tempur super canggih yang dimiliki Indonesia. “Saya cinta negara ini dengan segala keterbatasan yang saya miliki,” katanya.
Tinggalkan Balasan