
Tanggal 18 Oktober 1968, 52 tahun lalu, dua prajurit Marinir TNI gugur sebagai martir dalam konfrontasi antara dua negara, Indonesia-Malaysia.
Prajurit Korps Komando Operasi (KKO) Angkatan Laut, Usman bin Muhammad Ali dan Harun bin Said alias Tahir gugur di tiang gantungan otoritas Singapura, yang saat itu masih tergabung dalam negera federasi Malaysia bentukan Inggris.
Dalam perang konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno melalui Operasi Dwikora, Usman dan Harun dituduh bersalah telah meledakkan bom di pusat kota di Singapura.
Sejarah konfrontasi itu bermula saat pembentukan Persemakmuran Federasi Malaya dibekas wilayah jajahan Inggris pada tahun 1957 di semenanjung Malaka. Lalu pada 16 September 1963, Inggris membentuk Negara Malaysia Yang mencakup semenanjung Malaka, Singapura, Brunei, Sabah dan Sarawak.
Rencana ditentang oleh Soekarno dan Diosdado Macapagal (Presiden Filipina) karena dianggap tidak sesuai dengan Perjanjian Manila.
Perjanjian Manila diteken pada 31 Juli 1963 oleh Federasi Malaya, Republik Indonesia dan, Republik Filipina, yang intinya agar kawasan Kalimantan Utara yang terdiri dari Sarawak, Brunei dan Sabah diberi kesempatan referendum untuk memilih merdeka atau bergabung dengan Malaysia. Filipina sebenarnya mengincarnya Sabah dan Indonesia mengincar Sarawak, sedangkan Brunei “keukeh” memilih merdeka.
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno menganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai “boneka Inggris” merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.
Disokong oleh Partai Komunis Indonesia, bantuan militer dari China dan Uni Soviet. Bung Karno mulai membentuk sukarelawan untuk berperang menggagalkan negara Malaysia dalam Komando Dwikora.
PKI sendiri memanfaatkan misi ini untuk mulai mempersenjatai diri dan anggotanya memanfaatkan senjata kiriman dari China dan Uni Soviet.
Di dalam negeri Malaysia sendiri, aksi Indonesia disambut gembira Partai Komunis Malaysia, mereka menyebutnya sebagai bantuan dari saudara tua.
Misi Usman dan Harun.
Usman memiliki nama asli Sersan KKO Janatin alias Usman bin Haji Muhamad Ali. Sedangkan Harun bernama lengkap Kopral KKO Tohir alias Harun bin Said.
Usman adalah prajurit KKO kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 18 Maret 1943 dan Harun adalah kelahiran Pulau Bawean, 4 April 1947.
Pada Maret 1965, Usman, Harun dan Gani bin Arup, mendapat tugas khusus dari Komando Operasi Tertinggi (KOTI) untuk memasuki Singapura sebagai bagian dari perkuatan militer Indonesia untuk membantu para sukarelawan Indonesia di wilayah musuh.
Dengan menggunakan perahu karet, ketiganya berangkat tanggal 8 Maret 1965 dengan membawa 12,5 kilogram bahan peledak. Mereka mendapat perintah untuk melakukan sabotase ke sasaran-sasaran penting di kota Singapura. Sasaran tidak ditentukan dengan pasti, jadi harus ditentukan sendiri.
Tanggal 10 Maret 1965 mereka meledakkan bangunan MacDonald House yang terletak di pusat kota. Peristiwa itu menimbulkan kegemparan dan kekacauan bagi masyarakat Singapura.
Setelah melakukan aksinya, Harun dan Usman melarikan diri dan berhasil mencapai daerah pelabuhan, sedangkan Gani bin Arup mencari jalan lain. Sebuah motor boat berhasil mereka rampas untuk kembali ke Pulau Sambu.
Namun di tengah jalan, motor boat mengalami kerusakan mesin. Mereka akhirnya ditangkap patroli musuh pada 13 Maret 1965. Keduanya dibawa kembali ke Singapura untuk diadili. Pengadilan Singapura akhirnya menjatuhkan vonis hukuman mati. Pemerintah Indonesia melakukan berbagai usaha untuk meminta pengampunan atau keringanan hukuman, namun tidak berhasil.
Akhirnya pada hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968, tepatnya pukul 06.00 pagi, keduanya menjalani hukuman gantung di dalam penjara Changi, Singapura. Jenazahnya kemudian dibawa ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan pada era Presiden Soeharto.
Pada hari yang sama di mana Usman dan Harun digantung untuk kejayaan bangsa ini, Pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden RI Soeharto, menganugerahi keduanya dengan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI Nomor 050/TK/Tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968.
Ketengangan antara Indonesia dan Singapura sempat terjadinya pada 2014 ketika Indonesia menjadikan Usman-Harun sebagai kapal perang.
Tinggalkan Balasan