
Amerika Serikat berencana akan menyiagakan pesawat F22 Raptor di pangakalan militernya Australia pada 2017. AS menyebutnya sebagai upaya untuk mempertahankan “kekuatan tempur yang kredibel” di kawasan tersebut dan mengirim pesan yang meyakinkan untuk para agresor potensial.
Sebenarnya setelah pembekuan hubungan militer dengan Filipina, praktis AS sudah tak memiliki sekutu dekat di kawasan Laut China Selatan. Tapi AS beralasan untuk menjamin jalur ekonominya dengan para mitra di pasifik seperti Korea Selatan dan Jepang.
Sebagai langkah awal Royal Australian Air Force (RAAF) akan memulai latihan bersama dengan pesawat F-22 Raptor AS di atas wilayah Australia dan sepanjang garis laut di selatan Indonesia pada tahun depan.
Ini adalah salah satu efek dari perjanjian yang ditandatangani oleh Adm. Harry Harris, Komandan U.S. Pacific Command, dan kepala pertahanan Australia Air Chief Marshal Mark Binskin.
Berbicara di Lowy Institute di Sydney, Harris mengatakan bahwa AS dan Australia akan “mengeksplorasi integrasi yang lebih besar dari pengerahan pesawat tempur generasi kelima ke Australia dan berencana untuk melihat kegiatan yang signifikan di tahun 2017.”
RAAF memperoleh pengetahuan mengenai pesawat tempur generasi ke-5 berkat keterlibatannya dalam program Lockheed Martin F-35 Lightning II, tetapi pesawat Joint Strike Fighter belum akan masuk dinas aktif Angkatan Udara Australia sampai dekade berikutnya: F-35A pertama akan tiba di Australia pada tahun 2018 dan skuadron pertama, No 3 Squadron, akan beroperasi pada 2021. Semua 72 pesawat diharapkan akan beroperasi penuh pada 2023.
Karena F-22 adalah satu-satunya pesawat tempur generasi kelima yang sudah dalam kedinasan dalam jumlah yang memadai, Angkatan Udara AS memiliki rencana “untuk mengerahkan beberapa F-22 untuk bekerja dengan Australia untuk mendemonstrasikan pesawat tersebut dan beberapa aspek perawatan yang unik dan aspek lainnya dari sebuah pesawat tempur generasi kelima,” kata Harris.
Meskipun Raptor telah mengunjungi Australia di masa lalu untuk menghadiri pameran dirgantara, pengumuman pengerahan pesawat tempur multi-role paling canggih di dunia ke utara negara itu juga akan memiliki tujuan deterens: menurut Harris, untuk mempertahankan “kekuatan tempur yang kredibel” di wilayah ini akan mengirim pesan yang meyakinkan untuk para agresor potensial.
Seperti China, yang pulau buatannya di Laut Cina Selatan merupakan ancaman terhadap kebebasan navigasi dan penerbangan.
Kehadiran F-22 di Australia utara tersebut mirip dengan pengerahannya di Jepang: AU AS mulai merotasi pesawat tempur ke pangkalan-pangkalan Pacific Command pada Maret 2004 “untuk mempertahankan daya deterens terhadap ancaman keamanan dan stabilitas regional” dan pada bulan Januari 2016 selusin Raptor yang dikerahkan ke Yokota, dekat Tokyo, untuk “meningkatkan” stabilitas menyusul adanya uji coba nuklir Korea Utara.
Pengerahan segelintir jet stealth sekitar 2.000 mil laut dari Laut China Selatan agak bersifat simbolis kecuali apabila hal itu dianggap sebagai bagian dari pembangunan militer yang lebih luas di sekitar wilayah perairan bermasalah teater Indo-Asia-Pasifik.
Pada 9 Agustus 2016 tiga pembom B-2 Spirit yang tergabung pada 509th Bomb Wing, telah dikerahkan ke Andersen Air Force Base, di Guam, untuk melakukan operasi deterens jarak jauh di wilayah tersebut. B-1B Lancers (“Bones”) juga telah dikerahkan ke Guam untuk mendukung Misi Kehadiran Pembom Berkelanjutan U.S. Pacific Command (USPACOM).
Kapal induk AL AS secara berkala melakukan operasi dual carrier strike group (operasi dengan dua kapal induk) di Pasifik Barat dan kadang-kadang juga di Laut China Selatan, Laut China Timur dan Laut Filipina. Juni lalu, dua kapal induk bertenaga nuklir dioperasikan secara bersamaan di wilayah tersebut,bersama dua B-52 Stratofortress Angkatan Udara AS (pesawat pembom itu diterbangkan dari Pangkalan Angkatan Udara Andersen, Guam dalam sortie latihan serangan maritim.
Pada periode yang sama, Washington juga mengerahkan ke Filipina detasemen sementara pertama Angkatan Laut yang terdiri dari EA-18G Growlers dengan kemampuan untuk melakukan misi pengawalan elektronik kapal perang AS dan pengawalan terhadap pesawat pengintai AS yang sering dibayangi oleh pesawat pengintai atau kapal pengumpul intelijen China serta melakukan misi serangan elektronik terhadap radar China di pulau-pulau yang disengketakan.
Penempatan di Darwin, wilayah Australia paling utara ini juga bisa menjadi ancaman bagi Indonesia terutama dalam konflik laut Timor. Di Laut Timor, Timor Leste sedang rebutan soal hak pengelolaan wilayah kaya migas tersebut dengan negeri Kangguru. Jika tidak diantisipasi, wilayah Laut Timor yang milik Indonesia juga bisa dicaplok.
(sumber : TSM, theaviationist.com, independent.co.uk)
Tinggalkan Balasan