Setelah PD II, Apakah Pesawat Bomber Masih Mendapat Kawalan dari Jet Fighter ?

Selama berlangsungnya Perang Dunia II, pesawat fighter selalu hadir mengawal pesawat bomber dalam menjalankan misinya.

Pengawalan ini merupakan elemen penting agar pesawat bomber memiliki proteksi dan bisa mencapai area sasaran, terutama untuk ngantisipasi jika dicegat pesawat kelas inteceptor.

Dalam kasus pengeboman strategis AU Amerika Serikat (USAAF) ke Jerman, sempat terpikir di awal bahwa formasi bomber yang tidak dikawal dapat mempertahankan diri dengan interlocking fire dari senapan-senapan mesin kaliber 50mm yang mereka miliki.

Namun tingginya attrition rate bagi kekuatan bomber USAAF memicu penerapan pengawalan formasi bomber oleh fighter jarak jauh seperti P-38 Lightning, P-51 Mustang, dan P-47 Thunderbolt. Pesawat-pesawat ini ditujukan untuk mengikuti bomber terbang sampai dengan sasaran hingga kembali demi mempertahankan bomber tersebut.

Akan tetapi, keberadaan escort fighter bagi bomber pun sebenarnya sudah mendapat tentangan dari jaman Perang Dunia II. Misi escort bersifat defensif dan memerlukan fighter untuk selalu terbang dekat dengan bomber. Claire L. Chennault dari Flying Tigers berpendapat bahwa kapabilitas fighter pada dasarnya bersifat ofensif, dan ia menyatakan ketidaksetujuan terhadap pemakaian fighter bersama bomber.

Pada awal tahun 1944, Brig. Gen. James H. “Jimmy” Doolittle yang mendapat posisi di 8th Air Force memutuskan bahwa pemakaian fighter sebagai elemen kawal untuk bomber adalah sesuatu yang salah. Ia menerapkan doktrin agresif dimana fighter tidak menempel bomber, namun secara proaktif mencari dan menghancurkan pesawat lawan. Fighter akan terbang jauh di depan formasi bomber dan meraih keunggulan udara dengan menghancurkan elemen anti-bomber Luftwaffe di depan bomber-bomber USAAF.

Baca Juga:  Membongkar Arsip "Top Secret" Amerika & Australia Dalam Meruntuhkan Ekonomi Indonesia Pada 1997

Pasca PDII, penerapan close escort untuk bomber masih sempat bertahan. Dalam Perang Korea, B-29 tidak dapat mempertahankan diri dari MiG-15 sehingga memerlukan pengawalan dari F-86 Saber. Namun hal itu dapat dianggap sebagai pengecualian, berhubung USAF sejak tahun 1950an tidak lagi mengandalkan escort fighter sebagai elemen proteksi utama terhadap bomber.

Dengan munculnya pesawat-pesawat pengebom strategis dengan jarak jangkau yang sangat jauh seperti Convair B-36 Peacemaker, fighter yang biasanya dipakai sebagai escort tidak lagi mampu menemani bomber karena jarak jangkau yang tidak memadai. Pengisian bahan bakar di udara belum menjadi sesuatu yang lazim di era tersebut, sehingga USAF sempat menguji konsep parasite fighter yang dapat dibawa bomber seperti Project FICON/Tom-Tom serta XF-85 Goblin. Namun tidak ada parasite fighter yang operasional dikarenakan faktor keamanan yang minim dalam proses recovery pesawat. Pada akhirnya untuk menghindari elemen pencegat lawan, USAF mulai menggunakan bomber bermesin jet yang terbang tinggi seperti B-47 Stratojet.

Ancaman yang dihadapi pesawat bomber dalam mencapai target mulai bergeser dari elemen pencegat lawan menjadi situs-situs SAM. Untuk menangani ancaman SAM Soviet di tahun 60an awal tanpa elemen escort, B-52 Stratofortress dipersenjatai USAF dengan misil jelajah nuklir AGM-28 Hound Dog. Senjata raksasa bertenaga turbojet ini dibuat untuk diluncurkan terhadap situs-situs SAM serta pangkalan udara Soviet. Setelah menghancurkan ancaman tersebut dengan ledakan nuklir, B-52 dapat memasuki ruang udara lawan untuk melancarkan serangan utama.

Baca Juga:  Sparabara, Infanteri Bertameng Andalan Persia

Seiring waktu berjalan, ada beragam metode survivabilitas yang dikembangkan untuk bomber agar mampu bertahan secara mandiri. B-52 dilengkapi dengan sistem ECM. Saat berlangsungnya Perang Vietnam, B-52 masih mendapat proteksi dari Wild Weasel serta MiGCAP, namun elemen-elemen ini tidak beroperasi langsung bersama bomber layaknya escort tradisional. B-1B Lancer terbang rendah untuk menghindari envelope SAM yang menarget pesawat di ketinggian, serta menghindari deteksi radar dengan memanfaatkan terrain masking. B-2 Spirit memanfaatkan teknologi stealth untuk menghindari deteksi radar, serta dimodifikasi untuk terbang rendah meskipun awalnya dirancang untuk terbang tinggi sehingga dapat melaksanakan unescorted penetration ke dalam wilayah Soviet.

Dalam serangan misil jelajah trilateral tahun 2018 di Syria, terlihat bahwa B-1B USAF mendapat proteksi dari fighter 5th gen F-22 Raptor. Akan tetapi, F-22 tidak mengawal B-1B ke lokasi tujuan. B-1B mendapat physical serta EW defense dari EA-6B Prowler. Selebihnya di masa sekarang, bomber hanya dapat terlihat terbang dekat bersama fighter dalam sesi dokumentasi latihan-latihan maupun show of force.

sumber: Hex/Lighting Ii Express